Abdiku
Oleh: Marfuatin Muthoharoh/ Angkatan 2010
Aku dilahirkan dari
keluarga yang bisa dibilang sangat kekurangan. Aku anak bungsu dari empat
bersaudara. Orang tuaku hanyalah seorang buruh tani serabutan, jadi penghasilan
mereka hanya cukup untuk membiayai kehidupan abang-abangku saja. Kini, Abang
pertamaku menjadi seorang TKI yang berada di Saudi Arabia, abang keduaku juga
seorang TKI di Korea, sedangkan abang ketigaku seorang kuli bangunan yang
jarang mendapatkan kehidupan yang serba kecukupan. Dan mereka bertiga sudah
berumah tangga, jadi uang yang mereka kumpulkan semata hanya untuk anak dan
istri mereka.
Add caption |
Di yayasan Al-Hikmah
ini, Aku mempunyai anak asuh yang paling Aku sayang, Bilal namanya. Meskipun
nakal, tetapi anak ini sangat lucu dan taat beribadah. Bilal adalah siswa kelas
5 SD yang dulu kami temukan didepan pintu gerbang yayasan saat ia berusia 3
bulan. Disini Aku mempunyai dua orang sahabat yang nasibnya lebih buruk
daripada Aku. Supri dan Ahmad, kakak-beradik yang yatim piatu sejak mereka
masih balita. Tidak hanya Bilal, Supri, dan Mas Ahmad saja yang Aku sayangi,
tetapi semua penghuni yayasan ini sudah Aku anggap selayaknya keluargaku
sendiri. Sama halnya dengan Ummik, beliau Aku anggap seperti ibu kandungku. Meskipun begitu, aku tidak akan
lupa dengan ibu dan bapakku yang selalu mendo’akan aku.
~~¤~~
Bulir-bulir embun
pagi menetes didedaunan yang tumbuh dihalaman. Kumulai kegiatan pagiku dengan
membangunkan anak-anak untuk segera mandi dan sholat subuh berjamaah di masjid.
“Pagi…pagi…ayo
bangun!! Masak ga’ malu sama ayam yang dari tadi membangunkan kalian” Teriakku
untuk membangunkan anak-anak.
“Huuaachh…masih
ngantuk Mas” Gumam Bilal yang masih bersembunyi didalam selimutnya.
“Eh…eh…kamu
mau Ummik marah yach??”
“Enggak Mas, jangan bilang Ummik ya, Bilal udah bangun
kok…”
Ya, begitulah Bilal,
paling susah kalau disuruh bangun pagi dan paling takut kalau Ummik marah.
Seusai mandi dan sholat subuh
berjamaah, anak-anak melaksanakan kegiatan rutin yaitu mengaji tilawati yang
dibimbing oleh Mas Ahmad. Sedangkn Aku dan Supri menyiapkan kebutuhan anak-anak
untuk sekolah. Mulai dari seragam mereka, buku-buku mereka dan motor untuk
mengantarkan mereka pergi ke sekolah.
Disini Aku menggenal Milatuzzahra atau
biasanya dipanggil Mila, gadis cantik pujaan hatiku yang juga tinggal diyayasan
Al-Hikmah. Dia berperan sebagai pengasuh anak-anak perempuan sekaligus juga
sebagai juru masak. Pagi ini aroma masakan Mila tercium sampai garasi.
”Hmm...sedap sekali aromanya Mil,
masak apa nich??” Tanyaku sambil menggoda.
”Ah...Mas Fajar bisa saja...Mila cuma
buat semur daging saja kok mas..” Jawab Mila dengan Malu-malu.
”Tapi kayaknya enak banget, jadi
pengen coba...”
Mila hanya tersenyum
dengan ledekanku yang setiap hari didengarnya. Aku memang suka menggombal
dihadapan Mila dan membuat mukanya menjadi merah.
”Fajar....” Teriak Supri yang kutinggalkan
demi Mila.
”Apa??
Ga’ usah teriak-teriak lah!!” kuhampiri Supri.
”Kamu
ini, pekerjaan belum selesai kok malah ditinggal pacaran...” Supri yang mulai
marah karena ulahku.
”Heeheee...kan
cuma sebentar, menyegarkan mata dulu. Bosen aku tiap pagi lihat kamu Pri...” Godaku kepada Supri.
”Nakal
kamu ya...sini Jar, aku mandikan dulu matamu biar ga’ jelalatan!!”
”Ampun
Pri...”
Setiap hari memang
kami selalu bercanda saat menyiapkan kebutuhan anak-anak. Supri yang usianya
dibawahku satu tahun lebih bersikap dan berpikiran dewasa dibandingkan dengan Aku.
Semua
masakan telah selesai, waktunya sarapan. Aku senggaja memilih duduk didepan
Mila agar Aku dapat memandang wajahnya setiap saat. Dan setiap Aku pandangi
wajahnya, Mila menundukkan kepalanya karena malu.
”Mas
Fajar, kenapa memandang Mila seperti itu??” Tanya Mila karena risih dengan
sikapku.
”Ga’
ada apa-apa kok Mil, aku cuma pengen lihat kamu saja...”
Lagi-lagi, Mila
tersenyum dan tertunduk malu.
Pukul 07.00, saatnya Aku dan Supri
mengantarkan anak-anak untuk pergi kesekolah. Hari ini Supri yang mengantarkan
Bilal. Sebenarnya Akulah yang biasanya mengantarkan Bilal, tetapi hari ini
Ummik menyuruhku pergi ke rumah Pak H. Somad, salah seorang donatur untuk
mrngambil barang kebutuhan anak-anak.
Saat mereka berangkat, perasaanku
tidak karuan, Aku selalu dibayang-bayangi wajah Bilal. Ah, kulupakan saja
perasaanku itu, aku berangkat menuju rumah donatur dan menjalankan apa yang
diamanahkan Ummik kepadaku. Sesampai dirumah Pak H. Somad, Aku dipersilahkn
duduk dan membicarakan masalah yayasan. Pak H. Somad juga ikut andil dalam
masalah kepengurusan yayasan, karena memang Pak H. Somad merupakan adik dari
Ummik. Setelah berbicara panjang lebar, Aku segera pamit pulang.
”Sampaikan salamku buat anak-anak dan
Ummik ya!!”
”Baik Pak, terimakasih, Assalamu’alikum...”
pamitku kepada Pak H. Somad.
”Sama-sama, wa’alaikum salam...”
Tidak lama dijalan, Aku
mendapat telepon dari Supri. Kuterima telepon darinya.
”Assalamu’alaikum...Fajar, kamu
dimana??” tanya Supri dengan nafas tersengal-sengal.
”Wa’alaikum salam, Aku di jalan Pri.
Kenapa??” Tanyaku dengan gemetar.
”Aku sekarang di rumah sakit, Bilal tiba-tiba
panas tinggi dan kejang-kejang di sekolah, kamu bisa kesini??”
”Iya Pri, sebentar lagi Aku kesana.
Sudah dibawa ke UGD kan??”
”Udah Jar, ohya..jangan kasih tau
Ummik, nanti beliau khawatir...” Pesan Supri agar Ummik tidak sock dan khawatir
kepada Bilal.
”Oke-oke, Aku langsung meluncur ke
rumah sakit...”
Aku bergegas, kupacu
kendaraanku dengan kecepatan yang tinggi agar cepat sampai di rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, Aku lihat Supri dan Fajar sudah tertawa ria,
seperti tidak terjadi apa-apa dengan Bilal. Dasar Supri, badut Ancol di yayasan
kami, tidak ada yang sedih jika bersama Supri.
”Bilal, sakit kok malah cekikikan.
Istirahat Nak!!” Perintahku kepada Bilal.
”Iya Mas, Bilal istirahat. Mas Supri
sih lucu, jadinya Bilal tertawa deh...”
Aku dan Supripun
menunggu Bilal beristirahat. Kami membicarakan masalah perasaanku kepada Mila.
Sebenarnya Aku ingin sekali menikahi Mila. Tapi disisi lain, Mas
Ahmad kakak dari Supri juga mencintai Mila. Aku sangat bingung sekali. Mila
adalah wanita ketiga yang sangat aku cintai setelah ibuku dan Ummik.
Tak terasa waktu telah berlangsung
selama 3 jam. Dokter memperbolehkan kami pulang karena kondisi Bilal sudah
membaik dan Alhamdulillah pihak rumah sakit memberikan kami keringanan biaya
karena kami memiliki jaminan kesehatan keluarga tidak mampu. Akhirnya kami
membawa pulang Bilal meskipun dia masih belum sehat betul. Kamipun segera
menuju tempat administrasi dan bergegas pulang agar Ummik tidak khawatir dan
mencari kami.
Sesampainya di yayasan, Bilal langsung
menuju ke tempat tidurnya tanpa menoleh sedikitpun keruang makan. Karena tidak
seperti biasanya, Ummik bertanya kepadaku.
“Jar, kenapa Bilal? Tidk seperti biasanya
dia pulang sekolah langsung tidur?”
”Iya Ummik, Bilal lagi sakit, tadi
disekolah tiba-tiba tubuh Bilal panas tinggi...”
Aku ceritakan semua
kejadian tadi siang kepada Ummik. Beliau kaget, tetapi berkat Supri, suasana
jadi tidak menegangkan lagi.
~~¤~~
Sang mentari
telah digantikan oleh sang rembulan. Sudah
7 tahun kupendam perasaanku terhadap Mila. Aku tau kalau Milapun juga merasakan
perasaan yang sama terhadapku, tapi dia adalah seorang gadis yang sholehah,
jadi mana mungkin dia kegenitan kepadaku.
Malam
ini cahaya rembulan terpancar sangat menawan. Ditemani gemerlap
bintang-bintang. Dan dibawah kemewahan rembulan dan bintang, kukumpulkan semua
keberanianku untuk menyatakan cinta kepada Mila. Saat kuajak Mila ke taman
depan yayasan, dia mengiyakan ajakanku. Rasanya rontok jantungku, terhenti
aliran darahku dan terpaku semua perkataanku dihadapanya. Di taman itu kami hanya
saling diam, tanpa sepatah katapun terucap dari bibir kami. Jika terlalu lama
kami berdiam, maka tak akan ada gunanya. Aku awali pembicaran kami, meskipun
agak sedikit garing, tak apalah, yang penting Mila bisa tersenyum.
”Mil,
malam ini bintangnya bersinar seperti wajahmu...” Aku mulai menggombal
dihadapan Mila.
”Ah,
Mas Fajar bisa saja, Mila kan jadi Malu...”
”Beneran,
dan selama ini Aku terpesona dengan kelembutan hatimu. Mil, kamu kan tau kalau
Aku tidak suka basa-basi tapi suka menggombal. Aku mau kamu tau sesuatu...”
”Apa
itu mas? Kasih tau Mila!!” Tanya Mila penasaran.
”Bener,
kamu mau tau??” Godaku kepada Mila.
”Iya,
jangan buat Mila penasaran donk Mas...”
”Gini
ya Milaku sayang...”
”Eh...Mas
Fajar genit, kok pake sayang-sayangan???” Memotong pembicaranku.
”Maaf
Mil, keceplosan” Kucoba untuk mengeles.
Belum sampai inti
pembicaraan, Mila memotong perkataanku karena dia tidak mau Aku panggil dengan
sebutan sayang. Mila...Mila...kamu begitu sholehah. Tak sabar Aku ingin
mendapatkan kecantikan yang ada dalam dirimu. Aku lanjutkan percakapan kami.
”Langsung saja ya Mil, selama 7 tahun Aku memendam
perasaan kepadamu. Dan akhir-akhir ini Aku tidak bisa jauh darimu. Aku takut
kehilanganmu, saat tidur Aku terbayang wajahmu yang sejuk bagai oase yang menyegarkan
kekeringan hatiku. Aku mau kamu mendampingiku dalam hari-hariku yang sepi. Kamu
mau Mila??”
”Sebenarnya, Mila juga memiliki
perasaan yang sama Mas, tapi Mila malu...’
”Jadi, kamu menerimaku Mil??”
Mila hanya
menganggukkan kepala atas jawabannya.
”Alhmdulillah...akhirnya
Aku akan mendapatkan cintamu seutuhnya...”
Malam itupun juga, Aku
menemui Ummik untuk melamar Mila dan meminta restu atas hubungan kami.
”Ummik,
Fajar ingin melamar Mila. Fajar sangat mencintainya, dan insya Allah Fajar akan
membahagiakan Mila. Apakah Ummik merestui hubungan kami??”
”Alhamdulillah,
Ummik sangat setuju dengan hubungan kalian, dan kalau bisa secepatnya kalian
menikah agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan tidak terjadi
sebuah finah...apakah kamu sudah siap lahir dan batin??”
”Insya Allah sudah Ummik...”
Ummik sangat bahagia,
karena diusiaku yang menginjak 26 tahun, aku telah menemukan seseorang yang
insya Allah akan membahagiakanku.
Aku, Mila dan Ummikpun membicarakan
tanggal pernikahan kami. Setelah berunding cukup lama, akhirnya diputuskan oleh
Ummik tanggal pernikahan kami ialah tanggal 28 April yang bertepatan dengan
hari dimana Mila telah bertambah usia.
Satu minggupun telah berlangsung,
besok adalah hari yang bersejarah bagiku dan keluargaku. Dan besok Mila telah
resmi menjadi Istriku. Sanak saudara telah diundang, begitu juga dengan
keluargaku, Abang-Abangku yang tinggal di luar negeri, rela datang dan mereka
tak mau ketinggalan menghadiri resepsi pernikahanku dengan Mila, meskpun acara
resepsi kami diadakan secara sederhana.
~~¤~~
Mentari telah menampakkan senyum
indahnya. Semua penghuni yayasan telah bersiap-siap, termasuk Aku dan Mila.
Mila terlihat sangan anggun mengenakkan kebaya warna putih, dan Aku terlihat
gagah dengan jas warna hitam meskipun hanya pinjaman dari putra Pak H. Somad.
Pukul 09.00 acara akad nikah akan
dimulai, tetapi tiba-tiba Ummik tidak sadarkan diri. Kami semua panik dengan
keadaan Ummik yang tidak biasanya pingsan. Supri memanggilkan dokter dan acara
pernikahan kami ditunda sampai Ummik sadar. Dokterpun datang, tetapi nyawa
Ummik tidak terselamatkan lagi. Ummik terkena serangan jantung dan seketika meninggalkan
kami tanpa ada sepatah kata dari Beliau.
Saat kami larut dalam kesedihan, Bilal
lari menghampiri kami dengan membawa secarik kertas berisikan tulisan Ummik
yang merupakan surat wasiat yang ditulis Beliau tadi malam. Surat wasiat itu
berisikan...
Usai membaca surat dari Ummik, kami
melaksanakan wasiat Beliau yang terakhir, yakni menikah dihadapan jasad Ummik.
Rasa haru sekaligus bahagia bercampur aduk dalam perasaan kami. Disatu sisi,
kami baru saja kehilangan orang yang paling kami cintai, disisi lain kami harus
melaksanakan perintah Ummik. Akad nikah telah terucap dihadapan penghulu, wali,
dan para saksi. Aku dan Milapun resmi menjadi pasangan suami-istri.
Selamat jalan Ummik...
Sekuat tenaga dan sampi titik darah penghabisan, kan ku
jaga amanah dari Ummik...
Semoga, pengabdianku selama ini merupakan pengabdian yang
tulus dan bisa menggantarkan Ummik menuju tempat yang teridah disisi-NYA...
~~tamat~~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar