ISBN : 978-979-1227-24-7
Penulis : Hermawan Aksan
Penyunting : Imam Risdiyanto
Penerbit : Bentang
Cetakan : I, Juli 2008
Tebal : 289 hlm
Diresensi
oleh : Alfian Arif Bintara, Angkatan 2009 (09121011)
Program studi S1 Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Sinopsis
:
Niskala adalah
nama adik lelaki Dyah Pitaloka yang sewaktu ditinggal pergi kakaknya itu baru
berusia 9 tahun. Kematian ayahanda dan kakaknya semata wayang di tegal Bubat
akibat ulah Gajah Mada diam-diam telah menyemaikan benih dendam dalam hati
bocah kecil itu yang tujuh tahun kemudian bertekad membalaskannya.
Maka, Niskala
yang memiliki nama kecil Anggalarang itu pun berangkatlah menuju Majapahit guna
menantang duel sang mahapatih perkasa Gajah Mada. Anggalarang, demikianlah nama
tokoh utama dalam kisah ini, nama yang tak pernah terdengar di telinga ini
sebelumnya dalam tuturan sejarah. Dia adalah putra Prabu Maharaja Linggabuana
dan Dewi Ratna Lisning yang juga merupakan adik tersayang sang putri jelita
Dyah Pitaloka Ratna Citraresmi, keponakan dari Mangkubumi Bunisora, dan murid
dari Ki Ajar Suka Wening di lereng Gunung Sada Keling.
Anggalarang yang
masih muda dan hijau dalam dunia petualangan bahkan sangat tidak tahu peta
daerah di luar daerah kekuasaan ayahnya Prabu Maharaja Linggabuana. Petualangan
yang hanya berbekalkan satu tekad bertemu dan beradu tanding dengan; Gajah
Mada.
Perjalanannya
sendiri dimulai ketika Anggalarang telah tuntas akan pengetahuan ilmunya,
kemudian meninggalkan kerajaan untuk ngeluruk ke negeri musuh, Majapahit, yang
hanya berbekal tekad. Perjalanan yang dilakukan hanya seorang diri, merambah
tiap tapak jalan dan hutan belantara ke arah timur. Menuju negeri terbesar kala
itu, negeri yang telah mengoyak hatinya, negeri yang telah menumbuhkan benih
dendam di dalam jiwanya, yang hanya bisa diredakan dengan bertemu dengan sang
pembawa bencana; Gajah Mada.
Dalam perjalanan
Anggalarang yang menjelajah daerah Jawa untuk menemui Gajah Mada musuh
besarnya. Dalan perjalanannya dia bertemu dengan orang-orang yang berhubungan
dengan puluhan prajurit kerajaan Sunda yang tewas akibat kelicikan Gajah Mada.
Dia juga berkali-kali bertemu dengan wanita yang mampu membuatnya jatuh hati.
Dan yang paling mengharukan saat dia menemukan Gajah Mada yang ternyata sudah
tak sehebat 7 tahun yang lalu saat membantai habis seluruh pasukan Sunda dalam
perang Bubat yang membuat Anggalarang kehilangan Ayahnya, Raja Linggabuana
serta kakaknya, Dyah Pitaloka.
Hampir setiap pengalaman dari perjalanan Anggalarang
menebalkan dendam dan kebenciannya pada Gajah Mada namun saat bertemu dengan
Gajah Mada, dia akhirnya memilih untuk memaafkan segala perbuatan Gajah Mada
yang telah mengukir dendam dihatinya dan dihati rakyat kerajaan Sunda. Bahkan
mungkin karena kebaikan hatinya, Anggalarang mampu hidup dan memerintah
kerajaan Sunda selama ratusan tahun dan ikut menyaksikan bagaimana kerajaan
besar Majapahit hancur karena perebutan tahta.
Tinjauan Unsur Intrinsik :
Tema :
Perjuangan Kerajaan Sunda
Melawan Ambisi Penaklukan Majapahit (Dendam seorang putra mahkota kerajaan
Sunda, Anggalarang (Wastukancana), terhadap Mahapatih kerajaan Majapahit, yaitu
Gajah Mada).
Amanat :
-
Jangan mudah menjadi orang yang
pendendam. Hal ini dapat dilihat pada halaman 2 yaitu :
“Pergilah dengan hti yang damai, Angga, “ Bunisora
merapatkan jubah putih di bagian lehernya. “Berkelanalah bukan untuk
mencari-cari atau mengungkit-ungkit masalah, melainkan untuk menyelesaikan
masalah.”
-
Jadi orang harus rendah hati
dan tidak boleh gegabah. Hal ini tertulis pada halaman 28 yaitu :
“Maaf, ki dulur. Aku tak mau berkelahi,”
-
Jadi anak muda janganlah
bermalas-malasan. Hal ini tertulis pada halaman 29 yaitu :
“ Luar biasa. Anak semuda itu, Kata yang satu.
“Masa depan negeri kita akan lebih cerah,“ balas
temannya.
-
Jadilah orang yang jujur dan
mau mengakui kesalahan diri sendiri. Hal ini tertulis pada halaman 297 yaitu :
“Benar anak muda, akulah yang kau cari. Akulah biang
keladi tragedy tujuh tahun lalu itu. Akulah yang menyebabkan negerimu berduka entah hingga
kapan. Sudah selayaknya aku menerima hukuman darimu. Aku akan menerimanya dengan lapang , seperti Bhisma yang rela menjemput mut di tangan Srikandi……..”
-
Jadilah manusia yang muda
memaafkan. Hal ini tertulis pada halaman 297 yaitu :
“ ….Namun akhirnya hanya satu perasaan yang muncul.
Kasihan……….”
Latar Tempat :
Latar tempat yang ada dalam
novel ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti kerajaan, hutan,
pedesaan, pegunungan, dan lain sebagainya.
Latar Waktu :
Latar jenis ini, yang trdapat
dalam novel ini ada yang bersamaan dengan latar tempat, seperti yang dipaparkan
di atas pada latar tempat yaitu : pagi, sore, dan malam.
Latar Sosial :
Dari novel ini tampak latar
sosial berdasarkan usia, kelas sosial, pekerjaan dan cara hidupnya.
Alur (Plot) :
Alur novel ini adalah alur
mundur karena mengisahkan peristiwa yang telah berlalu yaitu tragedy perang
bubat dan sebab-sebab kematian ayah dan kakak Anggalarang. Sedangkan stukturnya
berupa bagian awal, tengah, dan akhir. Adapun alur mundurnya mulai muncul di
akhir bagian awal dan berakhirdi awal bagian akhir.
Penokohan :
Tokoh dalam novel ini ada banyak
namun yang lebih banyak berperan dalam novel ini hanya ada 4 orang yaitu :
-
Anggalarang (Wastukancana)
berwatak gegabah, dan penuh dendam tanpa berfikir panjang.
-
Mangkubumi Bunisora berwatak
bijaksana, penuh belas kasih dan penyayang
-
Ki Ajar Suka Wening berwatak
penuh perhitungan dan guru yang bijaksana dan religius.
-
Gajah Mada berwatak egois, mau
menag sendiri, lalai, haus akan kekuatan, dan tidak amau mendengarkan nasihat
orang lain.
Konflik :
Konflik yang ada adalah konflik batin antara Anggalarang dan Gajah
Mada.
Sudut Pandang :
Sudut pandang dalam novel ini
yaitu pengarang sebagai Third Person Omniscent (diaan-mahatahu ) sebab
pengarang tidak terlibat langsung dalam cerita, selain itu pengarang juga
sebagai Author Omniscent karena pengarang menggunakan kata “Dia” untuk
tokoh utama, namun ia turut hidup pribadi pelakunya.
Gaya Bahasa :
Dalam novel ini pengarang banyak
menggunakan bahas daerah (Sunda - Jawa).
Tinajuan Unsur
Ekstinsik :
Nilai Moral :
Nilai moral pada novel ini
sangat kental. Sifat-sifat yang tergambar menunjukkan rasa humanis yang terang
dalam diri seorang putra mahkota kerajaan Sunda yang tanggung dalam menyikapi
kerasnya kehidupan. Di sini, tokoh utama digambarkan sebagai sosok remaja yang
mempunyai semagat yang kuat, baik dan rasa setia kawan yang tinggi.
Nilai Sosial :
Ditinjau dari nilai sosialnya, novel
ini begitu kaya akan nilai sosial. Hal itu dibuktikan rasa setia kawan yang
begitu tinggi antara tokoh Anggalarang, dan Gopala. Masing-masing saling mendukung
dan membantu antara satu dengan yang lain dalam mewujudkan impian-impian mereka
sekalipun hampir mencapai batas kemustahilan. Dengan didasari rasa gotong
royong yang tinggi sebagai orang Sunda, dalam keadaan kekurangan pun masih
dapat saling membantu satu sama lain.
Nilai Adat istiadat
:
Nilai adat di sini juga begitu
kental terasa. Adat kebiasaan pada masyarakat tradisional sunda dan jawa yang
masih terlihat pada kebiasaan mereka
ataupun mata pencaharian warga yang sangat keras dan kasar yaitu sebagai
pekerja keras yang tak kenal lelah demi pengabdian mereka kepada kerajaannya.
Sehingga menambah khazanah budaya yang lebih Indonesia.
Nilai Agama :
Nilai agama pada novel ini juga
secara jelas tergambar.
Terutama pada bagian-bagian dimana ketiga tokoh ini bertemu sekaligus mendapat
pencerahan dari Ki Gunapala di Bhumi Sabhara Buddhara. Banyak digambarkan
bangunan dan candi-candi yang bercorak Hindu-Budha di dalam cerita tersebut.
Hal ini juga membuat novel ini kaya akan kebudayaan yang berbaur dengan
kehidupan religius.
Kelebihan :
- Ceritanya
begitu menyentuh dan mengalir seakan pembaca mengalami berbagai problema
yang melilit sang tokoh
- Penulis
mengajak pembaca mendalami cerita dengan bahasanya yang manis, santun dan
sopan
- Kisah-kisah hubungan antar manusia yang digambarkan
secara menarik dan utuh.
- Ceritanya menceritakan suasana kerajaan,
pedesaan dan kawasan sekitar istana yang tenang, indah dan menyenangkan.
- Kisah yang
dibagun secara pelan, dari perjalanan seorang Anggalarang yang masih muda
dan hijau dalam dunia petualangan bahkan sangat tidak tahu peta daerah di
luar daerah kekuasaan ayahnya Prabu Maharaja Linggabuana
- Membaca
kisah ini juga memberikan kesadaran baru tentang arti melupakan dendam.
Dendam yang secara tak kasat mata masih bisa dirasakan sampai sekarang.
Kekurangan :
-
Unsur sejarahnya kurang pekat,
-
Gagasan yang disampaikannya
kurang dalam : mendekonstruksi citra Gajah Mada yang selama ini kondang sebagai
figur pahlawan dalam novel tersebut berbalik menjadi si biang keladi yang
culas.
-
Hanya bertumpu pada upaya
pembalasan dendam.
-
Lebih banyak kandungan fiksinya
ketimbang fakta sejarahnya. Maka, kelirulah kalau kita menjadikannya sebagai
acuan sejarah, karena meskipun di dalamnya terdapat nama dan peristiwa yang
bersangkutan erat dengan riwayat Majapahit serta Kerajaan Sunda yang mencapai
puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Prabu Siliwangi itu, akhirnya hanya
sebagai "tempelan" saja demi memperkuat lakon.