Kamis, 17 Januari 2013

Puisi Madura

MOH. HORRI/ Angkatan 2012
 TALÉH TATANGGÂ MADHURÂ


Téngka’ namen lampat é tana kerréng
Ombe’ nyapoéh angin
Angin ngibeh  bhuruh  sarka
Dari  konco’nah  aréh  sampé’ poncanah langngi’
Nimur , nimbhere’ ka nimur
Saléng  bhantoh ta’ matéh-matéh
Ngormat  tade’ bhusennah odi’
Tampar atalé serret
Léér  akalong  aré
Nyabeh  taroan  odhi’
Namung  aghenjhe  dedeh  mardeh
MADHURÂ
Kalem tor asré
Panas  lamon  esalaé
MADHURÂ
Raket  nagereh
Manjheng  ghelhedhek
Kanta  sapé  kerrapan
Ajhejher padenah andeng..

Jumat, 04 Januari 2013

DIA ITU KAMU


Eka Silfi, Angkatan 2011

kamu tak pernah tau dia lah kamu
dia yang selalu kubicarakan dengan tuhanku
dia yang selalu ada disetiap mimpi-mimpiku
tapi kamu tak pernah tau dia itu kamu

kamu itu dia
tapi kamu selalu menanyakannya
kau ulang pun pertanyaanmu kau takkan menemukannya
karna kamu itu dia

sadarkah kamu dia itu kamu
dia yang tak pernah membicaranku
tapi aku selalu membicarakannya
karna aku mau dia yaitu kamu

dia takkan jadi siapa-siapa kecuali kamu
karna difikaranku dia hanya berubah jadi kamu
dan kamu hanya akan sebagai dia
karna hanya aku yang tau dia itu kamu

karnamu sendiri kuanggap kau dia
tanpa dia sadari dialah yang mampu membuka hatiku
dia yang membentuk rasa ini jadi cinta
tapi kamu tak perlu tau jika dia itu kamu....

RESENSI NOVEL



Judul buku    : Niskala
ISBN               : 978-979-1227-24-7
Penulis            : Hermawan Aksan
Penyunting     : Imam Risdiyanto
Penerbit          : Bentang
Cetakan          : I, Juli 2008
Tebal              : 289 hlm
Diresensi oleh : Alfian Arif Bintara, Angkatan 2009 (09121011)
Program studi S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,  Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,  Universitas Muhammadiyah Surabaya.

Sinopsis :

Niskala adalah nama adik lelaki Dyah Pitaloka yang sewaktu ditinggal pergi kakaknya itu baru berusia 9 tahun. Kematian ayahanda dan kakaknya semata wayang di tegal Bubat akibat ulah Gajah Mada diam-diam telah menyemaikan benih dendam dalam hati bocah kecil itu yang tujuh tahun kemudian bertekad membalaskannya.

Maka, Niskala yang memiliki nama kecil Anggalarang itu pun berangkatlah menuju Majapahit guna menantang duel sang mahapatih perkasa Gajah Mada. Anggalarang, demikianlah nama tokoh utama dalam kisah ini, nama yang tak pernah terdengar di telinga ini sebelumnya dalam tuturan sejarah. Dia adalah putra Prabu Maharaja Linggabuana dan Dewi Ratna Lisning yang juga merupakan adik tersayang sang putri jelita Dyah Pitaloka Ratna Citraresmi, keponakan dari Mangkubumi Bunisora, dan murid dari Ki Ajar Suka Wening di lereng Gunung Sada Keling.

Anggalarang yang masih muda dan hijau dalam dunia petualangan bahkan sangat tidak tahu peta daerah di luar daerah kekuasaan ayahnya Prabu Maharaja Linggabuana. Petualangan yang hanya berbekalkan satu tekad bertemu dan beradu tanding dengan; Gajah Mada.

Perjalanannya sendiri dimulai ketika Anggalarang telah tuntas akan pengetahuan ilmunya, kemudian meninggalkan kerajaan untuk ngeluruk ke negeri musuh, Majapahit, yang hanya berbekal tekad. Perjalanan yang dilakukan hanya seorang diri, merambah tiap tapak jalan dan hutan belantara ke arah timur. Menuju negeri terbesar kala itu, negeri yang telah mengoyak hatinya, negeri yang telah menumbuhkan benih dendam di dalam jiwanya, yang hanya bisa diredakan dengan bertemu dengan sang pembawa bencana; Gajah Mada.

Dalam perjalanan Anggalarang yang menjelajah daerah Jawa untuk menemui Gajah Mada musuh besarnya. Dalan perjalanannya dia bertemu dengan orang-orang yang berhubungan dengan puluhan prajurit kerajaan Sunda yang tewas akibat kelicikan Gajah Mada. Dia juga berkali-kali bertemu dengan wanita yang mampu membuatnya jatuh hati. Dan yang paling mengharukan saat dia menemukan Gajah Mada yang ternyata sudah tak sehebat 7 tahun yang lalu saat membantai habis seluruh pasukan Sunda dalam perang Bubat yang membuat Anggalarang kehilangan Ayahnya, Raja Linggabuana serta kakaknya, Dyah Pitaloka.
Hampir setiap pengalaman dari perjalanan Anggalarang menebalkan dendam dan kebenciannya pada Gajah Mada namun saat bertemu dengan Gajah Mada, dia akhirnya memilih untuk memaafkan segala perbuatan Gajah Mada yang telah mengukir dendam dihatinya dan dihati rakyat kerajaan Sunda. Bahkan mungkin karena kebaikan hatinya, Anggalarang mampu hidup dan memerintah kerajaan Sunda selama ratusan tahun dan ikut menyaksikan bagaimana kerajaan besar Majapahit hancur karena perebutan tahta.
Tinjauan Unsur Intrinsik :


Tema :
Perjuangan Kerajaan Sunda Melawan Ambisi Penaklukan Majapahit (Dendam seorang putra mahkota kerajaan Sunda, Anggalarang (Wastukancana), terhadap Mahapatih kerajaan Majapahit, yaitu Gajah Mada).
Amanat :
-          Jangan mudah menjadi orang yang pendendam. Hal ini dapat dilihat pada halaman 2 yaitu :
“Pergilah dengan hti yang damai, Angga, “ Bunisora merapatkan jubah putih di bagian lehernya. “Berkelanalah bukan untuk mencari-cari atau mengungkit-ungkit masalah, melainkan untuk menyelesaikan masalah.”
-          Jadi orang harus rendah hati dan tidak boleh gegabah. Hal ini tertulis pada halaman 28 yaitu :
“Maaf, ki dulur. Aku tak mau berkelahi,”
-          Jadi anak muda janganlah bermalas-malasan. Hal ini tertulis pada halaman 29 yaitu :
“ Luar biasa. Anak semuda itu, Kata yang satu.
“Masa depan negeri kita akan lebih cerah,“ balas temannya.
-          Jadilah orang yang jujur dan mau mengakui kesalahan diri sendiri. Hal ini tertulis pada halaman 297 yaitu :
“Benar anak muda, akulah yang kau cari. Akulah biang keladi tragedy tujuh tahun lalu itu. Akulah yang  menyebabkan negerimu berduka entah hingga kapan. Sudah selayaknya aku menerima hukuman darimu. Aku akan menerimanya  dengan lapang , seperti Bhisma yang rela  menjemput mut di tangan Srikandi……..”
-          Jadilah manusia yang muda memaafkan. Hal ini tertulis pada halaman 297 yaitu :
“ ….Namun akhirnya hanya satu perasaan yang muncul. Kasihan……….”

Latar Tempat :
Latar tempat yang ada dalam novel ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti kerajaan, hutan, pedesaan, pegunungan, dan lain sebagainya.
Latar Waktu :
Latar jenis ini, yang trdapat dalam novel ini ada yang bersamaan dengan latar tempat, seperti yang dipaparkan di atas pada latar tempat yaitu : pagi, sore, dan malam.
Latar Sosial :
Dari novel ini tampak latar sosial berdasarkan usia, kelas sosial, pekerjaan dan cara hidupnya.
Alur (Plot) :
Alur novel ini adalah alur mundur karena mengisahkan peristiwa yang telah berlalu yaitu tragedy perang bubat dan sebab-sebab kematian ayah dan kakak Anggalarang. Sedangkan stukturnya berupa bagian awal, tengah, dan akhir. Adapun alur mundurnya mulai muncul di akhir bagian awal dan berakhirdi awal bagian akhir.
Penokohan :
Tokoh dalam novel ini ada banyak namun yang lebih banyak berperan dalam novel ini hanya ada 4 orang yaitu :
-          Anggalarang (Wastukancana) berwatak gegabah, dan penuh dendam tanpa berfikir panjang.
-          Mangkubumi Bunisora berwatak bijaksana, penuh belas kasih dan penyayang
-          Ki Ajar Suka Wening berwatak penuh perhitungan dan guru yang bijaksana dan religius.
-          Gajah Mada berwatak egois, mau menag sendiri, lalai, haus akan kekuatan, dan tidak amau mendengarkan nasihat orang lain.

Konflik :
Konflik yang ada adalah  konflik batin antara Anggalarang dan Gajah Mada.
Sudut Pandang :
Sudut pandang dalam novel ini yaitu pengarang sebagai Third Person Omniscent (diaan-mahatahu ) sebab pengarang tidak terlibat langsung dalam cerita, selain itu pengarang juga sebagai Author Omniscent karena pengarang menggunakan kata “Dia” untuk tokoh utama, namun ia turut hidup pribadi pelakunya.
Gaya Bahasa :
Dalam novel ini pengarang banyak menggunakan bahas daerah (Sunda - Jawa).

Tinajuan Unsur Ekstinsik :
Nilai Moral :
Nilai moral pada novel ini sangat kental. Sifat-sifat yang tergambar menunjukkan rasa humanis yang terang dalam diri seorang putra mahkota kerajaan Sunda yang tanggung dalam menyikapi kerasnya kehidupan. Di sini, tokoh utama digambarkan sebagai sosok remaja yang mempunyai semagat yang kuat, baik dan rasa setia kawan yang tinggi.
Nilai Sosial :
Ditinjau dari nilai sosialnya, novel ini begitu kaya akan nilai sosial. Hal itu dibuktikan rasa setia kawan yang begitu tinggi antara tokoh Anggalarang, dan Gopala. Masing-masing saling mendukung dan membantu antara satu dengan yang lain dalam mewujudkan impian-impian mereka sekalipun hampir mencapai batas kemustahilan. Dengan didasari rasa gotong royong yang tinggi sebagai orang Sunda, dalam keadaan kekurangan pun masih dapat saling membantu satu sama lain.
Nilai Adat istiadat :
Nilai adat di sini juga begitu kental terasa. Adat kebiasaan pada masyarakat tradisional sunda dan jawa yang masih terlihat pada kebiasaan mereka  ataupun mata pencaharian warga yang sangat keras dan kasar yaitu sebagai pekerja keras yang tak kenal lelah demi pengabdian mereka kepada kerajaannya. Sehingga menambah khazanah budaya yang lebih Indonesia.
Nilai Agama :
Nilai agama pada novel ini juga secara jelas tergambar.
Terutama pada bagian-bagian dimana ketiga tokoh ini bertemu sekaligus mendapat pencerahan dari Ki Gunapala di Bhumi Sabhara Buddhara. Banyak digambarkan bangunan dan candi-candi yang bercorak Hindu-Budha di dalam cerita tersebut. Hal ini juga membuat novel ini kaya akan kebudayaan yang berbaur dengan kehidupan religius.



Kelebihan :
  • Ceritanya begitu menyentuh dan mengalir seakan pembaca mengalami berbagai problema yang melilit sang tokoh
  • Penulis mengajak pembaca mendalami cerita dengan bahasanya yang manis, santun dan sopan
  • Kisah-kisah hubungan antar manusia yang digambarkan secara menarik dan utuh.
  • Ceritanya menceritakan suasana kerajaan, pedesaan dan kawasan sekitar istana yang tenang, indah dan menyenangkan.
  • Kisah yang dibagun secara pelan, dari perjalanan seorang Anggalarang yang masih muda dan hijau dalam dunia petualangan bahkan sangat tidak tahu peta daerah di luar daerah kekuasaan ayahnya Prabu Maharaja Linggabuana
  • Membaca kisah ini juga memberikan kesadaran baru tentang arti melupakan dendam. Dendam yang secara tak kasat mata masih bisa dirasakan sampai sekarang.
Kekurangan :
-          Unsur sejarahnya kurang pekat,
-          Gagasan yang disampaikannya kurang dalam : mendekonstruksi citra Gajah Mada yang selama ini kondang sebagai figur pahlawan dalam novel tersebut berbalik menjadi si biang keladi yang culas.
-          Hanya bertumpu pada upaya pembalasan dendam.
-          Lebih banyak kandungan fiksinya ketimbang fakta sejarahnya. Maka, kelirulah kalau kita menjadikannya sebagai acuan sejarah, karena meskipun di dalamnya terdapat nama dan peristiwa yang bersangkutan erat dengan riwayat Majapahit serta Kerajaan Sunda yang mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Prabu Siliwangi itu, akhirnya hanya sebagai "tempelan" saja demi memperkuat lakon.

PERMASALAHAN PADA KAJIAN SINTAKSIS


Apakah Rumah makan termasuk frasa atau kata majemuk? 

Orang berpendapat bahwa antara rumah dengan makan misalnya, dapat disisipi bentuk untuk sehingga menjadi rumah untuk makan. Dengan begini, timbul dua pendapat: pertama, apabila unsur-unsur majemuk dapat disisipi bentuk lain bukanlah ciri tegas bentuk majemuk (sebab ternyata rumah makan, yang selama ini disebut orang sebagai kata majemuk, bisa disisipi bentuk lain, misalnya untuk); kedua, bentuk-bentuk semacam rumah makan bukanlah kata majemuk dengan bukti bahwa di antara unsur-unsur itu masih bisa disisipi unsur lain. Dari konteks di atas menunjukkan bahwa rumah makan bukanlah kata majemuk, melainkan frasa. Karena di antara unsur-unsurnya dapat disisipi bentuk lain.

Agus Budiman/ Angkatan 2011

            Dalam hal ini, yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan adalah persoalan arti bentuk majemuk yang bersangkutan. Sekarang, mesti dijawab: “samakah arti rumah makan dengan rumah untuk makan?”. Jika kita membatasi pengertian rumah makan sebagai ‘rumah (yang dipergunakan) untuk makan’, dengan segera kita menganggap bahwa arti kedua bentuk itu sama, sama-sama rujukannya(referensinya). Akan tetapi, yang juga penting untuk dijawab: Apakah setiap rumah yang dipergunakan untuk makan bisa langsung disebut rumah makan ?” Kirannya jelas bahwa arti rumah makan bisa dipahami dengan menunjukkan referensinya, yaitu restoran, depot, kafetaria, atau yang lain; jadi, tidak asal rumah yang dipakai sebagai tempat makan bisa disebut rumah makan. Dengan begitu, teranglah, arti rumah makan tidak sama dengan arti rumah untuk makan. Begitulah, arti kamar mandi tidak sama dengan kamar untuk mandi. (dalam keaadaan darurat, karena kamar mandinya rusak atau sedang diperbaiki, gudang yang “ngannggur” bisa ditempati ember besar berisi air, lengkap dengan gayung, sabun, sikat gigi, dan selanjutnya dipakai sebagai tempat untuk mandi; meski begitu, kamar gudang tadi bukanlah kamar mandi).

Dari konteks di atas dapat disimpulkan bahwa antara rumah makan dengan rumah untuk makan secara luas mempunyai arti yang berbeda, kalau kita menyebut rumah makan, maka rumah makan bersifat majemuk, sedangkan kalau kita menyebut rumah untuk makan, maka rumah untuk makan bersifat frasa, jadi kita bisa menggunakan keduanya dalam membentuk suatu tataran kalimat. Sehingga rumah makan dengan rumah untuk makan merupakan bentu-bentuk bersaing. Artinya, keduanya dipakai dalam masyarakat dewasa ini.