Makalah
Disampaikan pada Seminar “Bahasa Indonesia adalah Jati Diri
Kita”
Sabtu, 19 November 2011
Di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP UMSurabaya
Oleh: Ngatma’in*
1.
Latar Belakang
Pembelajaran berbahasa dan bersastra
Indonesia di sekolah dewasa ini masih mengalami masalah. Masalah tersebut
berasal dari siswa, guru, masyarakat, dan pemerintah. Siswa cenderung
menganggap pembelajaran berbahasa dan bersastra itu mudah; kenyataan di
lapangan justru menunjukkan nilai kelulusan rata-rata
mata pelajaran Bahasa Indonesia termasuk rendah dibandingkan mata pelajaran
yang lainnya. Beberapa hal yang
menyebabkan rendahnya kualitas pembelajaran berbahasa dan bersastra Indonesia
di sekolah. Pembelajaran berbahasa dan bersastra Indonesia di sekolah yang
terkesan “monoton” dan membosankan, murid menganggap bahasa Indonesia mudah (Santi W. 2011).
Guru kurang maksimal dalam membelajarkan siswa
untuk terampil berbahasa dan bersastra. Guru terjebak pada pembelajaran teori
dan pengetahuan bahasa dan sastra. Masyarakat kurang begitu apresiatif terhadap
karya sastra yang dihasilkan seniman. Masyarakat juga merasa lebih senang
menggunakan bahasa asing. Di lain pihak, pemerintah hanya menekankan aspek
kognitif dalam mengukur keterampilan berbahasa dan bersastra siswa. Sejauh ini
pemerintah hanya menetapkan ujian tulis sebagai ujian akhir. Ujian lisan belum bisa
dilakukan karena masih diniali kurang efektif baik dari segi waktu dan biaya. Jika
siswa, guru, masyarakat, dan pemerintah kurang tepat dalam menanggapi persoalan
tersebut bisa jadi bahasa Indonesia akan tergerser dengan bahasa asing. Jika bahasa
Indonesia tergeser oleh bahasa lain, maka bergeser pula jati diri bangsa
Indonesia.
2.
Pembelajaran Berbahasa dan Bersastra Indonesia di
Sekolah
Masnur M. & Suparno (1987: 2-3)
menguraikan awal penciptaan Bahasa Indonesia sebagai
jati diri bangsa bermula dari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Konsep asli Sumpah Pemuda berbunyi:
Kami poetera dan poeteri Indonesia
mengakoe bertoempah darah satoe,
Tanah Air Indonesia
Kami poetera dan poeteri Indonesia
mengakoe berbangsa satoe,
Bangsa Indonesia
Kami poetera dan poeteri Indonesia
Mendjoendjoeng bahasa persatoean,
Bahasa Indonesia
Butir pertama mengandung pengertian
bahwa siapapun yang lahir di Indonesia merupakan putra dan putri Indonesia.
Tidak memandang dari suku, ras, dan agama untuk menjadi putra dan putri
Indonesia. Siapa saja yang darahnya pernah tertumpah (lahir) di Indonesia
berarti sah menjadi putra dan putri Indonesia. Tanah yang dijadikan pijakan adalah
tanah air Indonesia bukan tanah yang lain. Butir kedua mengandung pengertian
bahwa putra dan putri tersebut menyatakan diri sebagai bangsa Indonesia bukan
bangsa melayu atau bangsa lainnya. Pada butir ketiga merupakan butir yang
dianggap luar biasa. Sebelum tercetusnya Sumpah Pemuda, bahasa Melayu dipakai
sebagai lingua franca (bahasa
perhubungan) di seluruh kawasan tanah air Indonesia. Pemuda dan pemudi pada
waktu itu bertekad menjadikan bahasa persatuan mereka adalah bahasa Indonesia
bukan bahasa Melayu atau bahasa daerah.
Terkait dengan jati diri bangsa,
Bahasa Indonesia mampu membentuk bangsa karakter bangsa. Sebagaimana kajian Amrin
Saragih, Kepala Balai Bahasa Medan dalam blog
Waspada Medan dituliskan bahwa bahasa berperan penting dalam pembentukan
jati diri suatu bangsa; Bahasa merupakan realisasi dan ekspresi ideologi, budaya, dan situasi suatu
komunitas atau bangsa. Hal ini dapat
berarti jika bahasa dilestarikan pemakainya maka lestari pula jati bangsa.
Sebaliknya jika pemilik bahasa tersebut tidak lagi melestarikan bahasanya maka
musnah pulalah jati diri suatu bangsa tersebut. Lebih lanjut diuraikan bahwa dalam bahasa Indonesia, jika seseorang bertanya kepada lawan tuturnya
perihal tempat tinggalnya, akan menggunakan kalimat Anda tinggal di mana? sedangkan dalam bahasa Malaysia dinyatakan sebagai Tuan duduk kad mana? Perbedaan dalam ekspresi berikut dua
keluarga tinggal di desa itu—dua kelamin duduk di kampung itu, isilah
kolom jenis kelamin pada borang itu—isikan ruang jantina pada borang itu. Perbedaan penggunaan kode bahasa pada dasarnya berfungsi sebagai pembeda identitas atau jati diri.
Muljanto Sumardi (via Jamaludian, 2003: 45) mengungkapkan lima penyebab kurang
berhasilnya pembelajaran bahasa Indonesia. Faktor-faktor tersebut antara lain
(1) Guru mengajarkan teori dan pengetahuan bahasa dan sastra, tidak
mengajarkan keterampilan berbahasa dan
bersastra, (2) Bahan
pelajaran tidak relevan dengan kebutuhan siswa untuk dapat berkomunikasi, (3) Proses
belajar-mengajar lebih banyak didominasi
oleh guru, (4) Struktur bahasa dibahas secara terpisah, struktur bahasa yang
diajarkan lepas dari konteks sosial budayanya, dan (5) Sistem penilaian lebih menekankan aspek
kognitif.
Teks Sumpah Pemudah di atas dapat
dimanfaatkan guru dalam mengajarkan keterampilan berbahasa. Mulai dari struktur
terkecil sampai pada tataran wacananya, sejarah tercetusnya, dampak terhadap
perkembangan kemerdekaan, sampai pada kebermanfaatan teks tersebut oleh
pemuda-pemudi saat ini. Untuk mengajarkan keterampilan bersastra guru dapat merujuk pada buku paket atau buku
penunjang lainnya. Yang perlu ditekankan adalah baik pembelajaran bahasa
ataupun sastra sebaiknya tidak mengedepankan teori kebahasaan atau kesastraan
saja.
Jamaluddin (2003: 70-94) menyebutkan beberapa
faktor yang menyebabkan tidak maksimalnya pembelajaran bersastra di sekolah. Masalah-masalah
tersebut antara lain (1) mitos-mitos negatif di seputar dunia sastra yang
menghantui pembelajaran bersastra di sekolah, (2) kesalahan konsep dalam
pembelajaran sastra, (3) pola pembelajaran dan sistem evaluasi, (4) minimnya
buku pelajaran. Mitos-mitos yang muncul dalam dunia sastra yang menghantui
pembelajaran bersastra di sekolah sangat beragam. Pertama, adanya anggapan bahwa sastra merupakan dunia para
penghayal, dunia Arya Dwipangga (pendekar syair berdarah, dalam film Tutur Tinular). Kedua, kehidupan para seniman identik dengan kehidupan yang tidak
wajar, berpikir aneh, berbaju kumal, jarang mandi, dan berambut gondrong. Ketiga, dalam hal keilmuan, sastra
dipandang hanya urusan para kritikus dan seniman sastra. Keempat, seperti bidang bahasa, menjadi ahli sastra bukanlah
profesi yang menguntungkan. Kelima, sastra
selalu terpencil, tidak dicintai bangsanya. Keenam,
adanya konsep licentia poetica, yang
seakan-akan memberikan kebebasan kreatif para pencipta karya sastra dan
membingungkan guru terkait dengan konsep sebuah karya sastra, baik puisi atau
karya lain.
Kesalahan konsep dalam pembelajaran
bersastra di sekolah sudah menjadi hal biasa. Guru hanya mengajarkan
teori-teori sastra tetapi tidak mengajarkan kemampuan intuitif, imajinatif, dan
daya kreatif. Guru mengajarkan teori sastra, mengajarkan karya-karya Chairil
Anwar, tetapi siswa tidak diajak menyelami makna dan pesan moral dari
sajak-sajaknya. Guru dan siswa bisa jadi hafal dengan roman Sitti Nurbaya karya Marah Rusli, tetapi
salah memaknai pesan yang terkandung dalam karya tersebut.
Keterbatasan alokasi waktu
pembelajaran bersastra memang sudah menjadi dongeng sejak lama. Ibaratnya,
bangsa Indonesia memiliki beribu budaya yang tersebar di pelosok nusantara,
namun hanya reog, keris, batik, dan angklung yang kita butuhkan pengakuan dari
bangsa-bangsa di dunia. Dan hanya sedikit waktu itulah yang kita gunakan untuk
mengajarkan siswa dalam bersastra. Seharusnya pembagian waktu dalam
pembelajaran bahasa dan sastra harus imbang, tidak berat sebelah.
Sistem evaluasi yang dilakukan guru hanya
terbatas pada aspek kognitif. Hal ini menyebabkan nilai validitas pembelajaran
sangat rendah. Kurang tepat jika guru ingin mengetahui keterampilan berpantun
siswa dengan memberikan tugas menuliskan pantun saja. Walaupun cara tersebut
dianggap dapat mewakili, tetapi kata berpantun memiliki perbedaan makna dengan membuat
pantun. Terkait dengan sumber belajar yaitu buku, guru cenderung menggunakan buku
‘pusaka’ yang dijadikan sumber belajar satu-satunya. Hal tersebut dilakukan
karena minimnya jumlah buku pelajaran di sekolah.
Upaya yang dapat disarankan sebagai
pemecah persoalan pembelajaran berbahasa dan bersastra di sekolah antara lain
(1) tumbuhkan motivasi belajar siswa, (2) gali kreativitas siswa, (3) tumbuhkan minat baca, (4) revitalisasi
peran perpustakaan sekolah, dan (5) ciptakan pembelajaran dan penilaian berbahasa dan bersastra yang menyenangkan.
Usaha untuk menumbuhkan motivasi
belajar siswa dapat dilakukan dengan berbagai cara. Jamaluddin (2003: 109-110)
mencontohkan beberapa cara yaitu (a) memberi nilai atas hasil kerja siswa, (b)
memberikan hadiah tertentu sebagai wujud penghargaan terhadap karya siswa, baik
dalam bentuk piagam atau yang lain, (c) memberika pujian, (d) memberikan
tugas-tugas pembelajaran yang harus dilaksanakan siswa, misalnya ujian berkala,
tugas praktikum, (e) memperlihatkan hasil kerja siswa, (f) menciptakan suasana
belajar yang kompetitif, (g) memberikan sanksi yang bersifat didaktis terhadap
siswa yang melanggar aturan.
Menggali kreativitas siswa dapat
dilakukan dengan berbagai cara. Kreativitas menulis dapat digali dengan cara
memberikan stimulus tentang menulis. Berikan kebebasan kepada siswa untuk
menulis, berikan pujian kepada siswa, bimbinglah dengan tepat agar kemampuan
menulisnya lebih terasah, publikasikan hasil karya tulis siswa melalui mading
atau ikutkan lomba menulis.
Jamaluddin (2003: 114-117) menguraikan
beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menggali kreativitas siswa. Pertama, membuat paragraf. Langkah
membuat paragraf dapat dimulai dengan menampilkan sejumlah kalimat acak yang
harus disusun kembali sehingga menghasilkan kalimat yang kohesi dan koheren. Kedua, mengedit paragraf. Kegiatan ini
dimulai dengan menampilkan paragraf sederhana yang harus ditelaah siswa, baik
dari ejaan, diksi, atau struktur kalimat. Ketiga,
bermain peran atau mementaskan naskah drama. Kegiatan memerankan tokoh
tertentu merupakan lagkah awal sebelum memasuki kegiatan mementaskan naskah
drama.
Minat baca dapat tumbuh apabila siswa
membutuhkan informasi tentang kebutuhan mereka. Siswa yang membutuhkan
informasi atau pengetahuan bersastra tentunya siswa berminat membaca buku
tentang karya-karya sastra. Siswa yang membutuhkan pengetahuan menulis tentunya
siswa akan gemar membaca teori-teori menulis. Begitu pula siswa yang memiliki
keinginan untuk menguasai matematika tentunya siswa akan rajin membaca buku
matematika. Apabila siswa tidak menginginkan informasi atau pengetahuan apa-apa
tidak mungkin siswa gemar membaca. Apabila siswa dapat mengembangkan dan
mengidentifikasi kebutuhannya sendiri untuk belajar, maka akan lebih siap mempersepsi
nilai belajar membaca, akibatnya sikap positif terhadap membaca akan meningkat
(Farida Rahim, 2008: 130).
Perpustakaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia versi offline 1.1. edisi ketiga diartikan 1. tempat, gedung, ruang yang
disediakan untuk pemeliharaan dan penggunaan koleksi buku dsb; 2 koleksi buku, majalah, dan bahan
kepustakaan lainnya yang disimpan untuk dibaca, dipelajari, dibicarakan. Peran perpustakaan
tidak hanya tempat menyimpan buku atau koleksi majalah. Perpustakaan harus
difungsikan sebagai tempat menggali pengetahuan siswa, sebagai tempat diskusi
siswa, tempat mencari informasi pengetahuan.
Jamaluddin
(2003: 127) mengungkapkan bahwa perpustakaan harus didesain sedemikian rupa
sehingga cukup kondusif sebagai tempat membaca bagi siswa. Rak buku disusun
dengan rapi, buku-buku tertata dengan baik, tersedia lemari katalog, ada ruang
baca yang nyaman, ada gambar yang menarik dan relevan, dan dinding dicat dengan
warna yang bervariasi.
Menciptakan pembelajaran dan penilaian
yang menyenangkan agaknya sukar dilakukan, khususnya menciptakan model
penilaian yang menyenangkan. Bagaimanapun penilaian yang diberikan kepada siswa
tentunya tidak menjadikan siswa merasa senang. Penilaian dipandang sebagai
sesuatu yang membatasi ruang gerak, atau sebaliknya pemaksaan untuk melakukan
sesuatu hal (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 5).
Pembelajaran yang menyenangkan
tentunya berakibat pada penilaian yang menyenangkan pula. Oleh karena itu
penilaian hendaknya disesuaikan dengan pembelajaran yang dilakukan. Misalnya,
pembelajaran berpidato seharusnya siswa dites berpidato, bukan pengetahuan atau
teori pidato. Pembelajaran bersastra hendaknya siswa diberikan tes bersastra,
bukan pengetahuan atau teori sastra.
3.
Simpulan
Bahasa adalah jati diri bangsa. Bahasa menunjukkan bangsa. Dalam
pembelajaran di sekolah, guru semestinya tidak hanya mengajarkan teori-teori
kebahasaan dan kesastraan tetapi juga membelajarkan keterampilan berbahasa dan
bersastra agar semakin kokohlah jadi
diri bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Amrin Saragih. (2011). Bahasa indonesia mampu membentuk karakter bangsa
Indonesia yang toleran dan variatif. (onine): http://www.waspadamedan.com/index.php? option=com_content&view=article&id=2220:bahasa-dalam-pengembangan-jati-diri-bangsa-ii&catid=59:opini&Itemid=215, diakses pada 17 November 2011.
Burhan Nurgiyantoro. (2010). Penilaian pembelajaran bahasa berbasis kompetensi. (1th ed).
Yogyakarta: BPFE.
Ebta
Setiawan. (2010). Kamus besar bahasa
indonesia versi offline 1.1. (3th
ed.). diambil dari http:// pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi
Farida Rahim. (2008). Pengajaran membaca di sekolah dasar. (2th ed). Jakarta: PT Bumi Aksara.
Jamaluddin.
(2003). Problematik pembelajaran bahasa & sastra. Yogyakarta: AdiCita.
Masnur M. & Suparno. (1987). Bahasa indonesia: kedudukan, fungsi,
pembiaan dan pengembangannya. (2th
ed.) Bandung: Jemmars.
Santi
W. at.al. (2011). Pembelajaran bahasa indonesia yang menyenangkan.
(online): http: //berkarya.um.ac.id/?p=5627. diakses pada 9 November 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar