Jumat, 04 Januari 2013

Pembelajaran Berbahasa dan Bersastra Indonesia di Sekolah




Makalah Disampaikan pada Seminar “Bahasa Indonesia adalah Jati Diri Kita”
Sabtu, 19 November 2011
Di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSurabaya

Oleh: Ngatma’in*

1.             Latar Belakang
Pembelajaran berbahasa dan bersastra Indonesia di sekolah dewasa ini masih mengalami masalah. Masalah tersebut berasal dari siswa, guru, masyarakat, dan pemerintah. Siswa cenderung menganggap pembelajaran berbahasa dan bersastra itu mudah; kenyataan di lapangan justru menunjukkan nilai kelulusan rata-rata mata pelajaran Bahasa Indonesia termasuk rendah dibandingkan mata pelajaran yang lainnya. Beberapa hal yang menyebabkan rendahnya kualitas pembelajaran berbahasa dan bersastra Indonesia di sekolah. Pembelajaran berbahasa dan bersastra Indonesia di sekolah yang terkesan “monoton” dan membosankan, murid menganggap bahasa Indonesia mudah (Santi W. 2011).
 Guru kurang maksimal dalam membelajarkan siswa untuk terampil berbahasa dan bersastra. Guru terjebak pada pembelajaran teori dan pengetahuan bahasa dan sastra. Masyarakat kurang begitu apresiatif terhadap karya sastra yang dihasilkan seniman. Masyarakat juga merasa lebih senang menggunakan bahasa asing. Di lain pihak, pemerintah hanya menekankan aspek kognitif dalam mengukur keterampilan berbahasa dan bersastra siswa. Sejauh ini pemerintah hanya menetapkan ujian tulis sebagai ujian akhir. Ujian lisan belum bisa dilakukan karena masih diniali kurang efektif baik dari segi waktu dan biaya. Jika siswa, guru, masyarakat, dan pemerintah kurang tepat dalam menanggapi persoalan tersebut bisa jadi bahasa Indonesia akan tergerser dengan bahasa asing. Jika bahasa Indonesia tergeser oleh bahasa lain, maka bergeser pula jati diri bangsa Indonesia.

2.             Pembelajaran Berbahasa dan Bersastra Indonesia di Sekolah
Masnur M. & Suparno (1987: 2-3) menguraikan awal penciptaan Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa bermula dari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Konsep asli Sumpah Pemuda berbunyi:
Kami poetera dan poeteri Indonesia
mengakoe bertoempah darah satoe,
Tanah Air Indonesia

Kami poetera dan poeteri Indonesia
mengakoe berbangsa satoe,
Bangsa Indonesia

Kami poetera dan poeteri Indonesia
Mendjoendjoeng bahasa persatoean,
Bahasa Indonesia

Butir pertama mengandung pengertian bahwa siapapun yang lahir di Indonesia merupakan putra dan putri Indonesia. Tidak memandang dari suku, ras, dan agama untuk menjadi putra dan putri Indonesia. Siapa saja yang darahnya pernah tertumpah (lahir) di Indonesia berarti sah menjadi putra dan putri Indonesia. Tanah yang dijadikan pijakan adalah tanah air Indonesia bukan tanah yang lain. Butir kedua mengandung pengertian bahwa putra dan putri tersebut menyatakan diri sebagai bangsa Indonesia bukan bangsa melayu atau bangsa lainnya. Pada butir ketiga merupakan butir yang dianggap luar biasa. Sebelum tercetusnya Sumpah Pemuda, bahasa Melayu dipakai sebagai lingua franca (bahasa perhubungan) di seluruh kawasan tanah air Indonesia. Pemuda dan pemudi pada waktu itu bertekad menjadikan bahasa persatuan mereka adalah bahasa Indonesia bukan bahasa Melayu atau bahasa daerah.
Terkait dengan jati diri bangsa, Bahasa Indonesia mampu membentuk bangsa karakter bangsa. Sebagaimana kajian Amrin Saragih, Kepala Balai Bahasa Medan dalam blog Waspada Medan dituliskan bahwa bahasa berperan penting dalam pembentukan jati diri suatu bangsa; Bahasa merupakan realisasi dan ekspresi ideologi, budaya, dan situasi suatu komunitas atau bangsa. Hal ini dapat berarti jika bahasa dilestarikan pemakainya maka lestari pula jati bangsa. Sebaliknya jika pemilik bahasa tersebut tidak lagi melestarikan bahasanya maka musnah pulalah jati diri suatu bangsa tersebut. Lebih lanjut diuraikan bahwa dalam bahasa Indonesia, jika seseorang bertanya kepada lawan tuturnya perihal tempat tinggalnya, akan menggunakan kalimat Anda tinggal di mana? sedangkan dalam bahasa Malaysia dinyatakan sebagai Tuan duduk kad mana? Perbedaan dalam ekspresi berikut dua keluarga tinggal di desa itudua kelamin duduk di kampung itu, isilah kolom jenis kelamin pada borang itu—isikan ruang jantina pada borang itu. Perbedaan penggunaan kode bahasa pada dasarnya berfungsi sebagai pembeda identitas atau jati diri.
Muljanto Sumardi (via Jamaludian, 2003: 45) mengungkapkan lima penyebab kurang berhasilnya pembelajaran bahasa Indonesia. Faktor-faktor tersebut antara lain (1) Guru mengajarkan teori dan pengetahuan bahasa dan sastra, tidak mengajarkan  keterampilan berbahasa dan bersastra, (2)  Bahan pelajaran tidak relevan dengan kebutuhan siswa untuk dapat berkomunikasi, (3) Proses belajar-mengajar lebih banyak didominasi  oleh guru, (4) Struktur bahasa dibahas secara terpisah, struktur bahasa yang diajarkan lepas dari konteks sosial budayanya, dan (5) Sistem penilaian lebih menekankan aspek kognitif.
Teks Sumpah Pemudah di atas dapat dimanfaatkan guru dalam mengajarkan keterampilan berbahasa. Mulai dari struktur terkecil sampai pada tataran wacananya, sejarah tercetusnya, dampak terhadap perkembangan kemerdekaan, sampai pada kebermanfaatan teks tersebut oleh pemuda-pemudi saat ini. Untuk mengajarkan keterampilan bersastra  guru dapat merujuk pada buku paket atau buku penunjang lainnya. Yang perlu ditekankan adalah baik pembelajaran bahasa ataupun sastra sebaiknya tidak mengedepankan teori kebahasaan atau kesastraan saja.
Jamaluddin (2003: 70-94) menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan tidak maksimalnya pembelajaran bersastra di sekolah. Masalah-masalah tersebut antara lain (1) mitos-mitos negatif di seputar dunia sastra yang menghantui pembelajaran bersastra di sekolah, (2) kesalahan konsep dalam pembelajaran sastra, (3) pola pembelajaran dan sistem evaluasi, (4) minimnya buku pelajaran. Mitos-mitos yang muncul dalam dunia sastra yang menghantui pembelajaran bersastra di sekolah sangat beragam. Pertama, adanya anggapan bahwa sastra merupakan dunia para penghayal, dunia Arya Dwipangga (pendekar syair berdarah, dalam film Tutur Tinular). Kedua, kehidupan para seniman identik dengan kehidupan yang tidak wajar, berpikir aneh, berbaju kumal, jarang mandi, dan berambut gondrong. Ketiga, dalam hal keilmuan, sastra dipandang hanya urusan para kritikus dan seniman sastra. Keempat, seperti bidang bahasa, menjadi ahli sastra bukanlah profesi yang menguntungkan. Kelima, sastra selalu terpencil, tidak dicintai bangsanya. Keenam, adanya konsep licentia poetica, yang seakan-akan memberikan kebebasan kreatif para pencipta karya sastra dan membingungkan guru terkait dengan konsep sebuah karya sastra, baik puisi atau karya lain.
Kesalahan konsep dalam pembelajaran bersastra di sekolah sudah menjadi hal biasa. Guru hanya mengajarkan teori-teori sastra tetapi tidak mengajarkan kemampuan intuitif, imajinatif, dan daya kreatif. Guru mengajarkan teori sastra, mengajarkan karya-karya Chairil Anwar, tetapi siswa tidak diajak menyelami makna dan pesan moral dari sajak-sajaknya. Guru dan siswa bisa jadi hafal dengan roman Sitti Nurbaya karya Marah Rusli, tetapi salah memaknai pesan yang terkandung dalam karya tersebut.
Keterbatasan alokasi waktu pembelajaran bersastra memang sudah menjadi dongeng sejak lama. Ibaratnya, bangsa Indonesia memiliki beribu budaya yang tersebar di pelosok nusantara, namun hanya reog, keris, batik, dan angklung yang kita butuhkan pengakuan dari bangsa-bangsa di dunia. Dan hanya sedikit waktu itulah yang kita gunakan untuk mengajarkan siswa dalam bersastra. Seharusnya pembagian waktu dalam pembelajaran bahasa dan sastra harus imbang, tidak berat sebelah.
Sistem evaluasi yang dilakukan guru hanya terbatas pada aspek kognitif. Hal ini menyebabkan nilai validitas pembelajaran sangat rendah. Kurang tepat jika guru ingin mengetahui keterampilan berpantun siswa dengan memberikan tugas menuliskan pantun saja. Walaupun cara tersebut dianggap dapat mewakili, tetapi kata berpantun  memiliki perbedaan makna dengan membuat pantun. Terkait dengan sumber belajar yaitu buku, guru cenderung menggunakan buku ‘pusaka’ yang dijadikan sumber belajar satu-satunya. Hal tersebut dilakukan karena minimnya jumlah buku pelajaran di sekolah.
Upaya yang dapat disarankan sebagai pemecah persoalan pembelajaran berbahasa dan bersastra di sekolah antara lain (1) tumbuhkan motivasi belajar siswa, (2) gali kreativitas  siswa, (3) tumbuhkan minat baca, (4) revitalisasi peran perpustakaan sekolah, dan (5) ciptakan pembelajaran dan penilaian  berbahasa dan bersastra yang menyenangkan.
Usaha untuk menumbuhkan motivasi belajar siswa dapat dilakukan dengan berbagai cara. Jamaluddin (2003: 109-110) mencontohkan beberapa cara yaitu (a) memberi nilai atas hasil kerja siswa, (b) memberikan hadiah tertentu sebagai wujud penghargaan terhadap karya siswa, baik dalam bentuk piagam atau yang lain, (c) memberika pujian, (d) memberikan tugas-tugas pembelajaran yang harus dilaksanakan siswa, misalnya ujian berkala, tugas praktikum, (e) memperlihatkan hasil kerja siswa, (f) menciptakan suasana belajar yang kompetitif, (g) memberikan sanksi yang bersifat didaktis terhadap siswa yang melanggar aturan.
Menggali kreativitas siswa dapat dilakukan dengan berbagai cara. Kreativitas menulis dapat digali dengan cara memberikan stimulus tentang menulis. Berikan kebebasan kepada siswa untuk menulis, berikan pujian kepada siswa, bimbinglah dengan tepat agar kemampuan menulisnya lebih terasah, publikasikan hasil karya tulis siswa melalui mading atau ikutkan lomba menulis.
Jamaluddin (2003: 114-117) menguraikan beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menggali kreativitas siswa. Pertama, membuat paragraf. Langkah membuat paragraf dapat dimulai dengan menampilkan sejumlah kalimat acak yang harus disusun kembali sehingga menghasilkan kalimat yang kohesi dan koheren. Kedua, mengedit paragraf. Kegiatan ini dimulai dengan menampilkan paragraf sederhana yang harus ditelaah siswa, baik dari ejaan, diksi, atau struktur kalimat. Ketiga, bermain peran atau mementaskan naskah drama. Kegiatan memerankan tokoh tertentu merupakan lagkah awal sebelum memasuki kegiatan mementaskan naskah drama.
Minat baca dapat tumbuh apabila siswa membutuhkan informasi tentang kebutuhan mereka. Siswa yang membutuhkan informasi atau pengetahuan bersastra tentunya siswa berminat membaca buku tentang karya-karya sastra. Siswa yang membutuhkan pengetahuan menulis tentunya siswa akan gemar membaca teori-teori menulis. Begitu pula siswa yang memiliki keinginan untuk menguasai matematika tentunya siswa akan rajin membaca buku matematika. Apabila siswa tidak menginginkan informasi atau pengetahuan apa-apa tidak mungkin siswa gemar membaca. Apabila siswa dapat mengembangkan dan mengidentifikasi kebutuhannya sendiri untuk belajar, maka akan lebih siap mempersepsi nilai belajar membaca, akibatnya sikap positif terhadap membaca akan meningkat (Farida Rahim, 2008: 130).
Perpustakaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia versi offline 1.1. edisi ketiga diartikan 1. tempat, gedung, ruang yang disediakan untuk pemeliharaan dan penggunaan koleksi buku dsb; 2 koleksi buku, majalah, dan bahan kepustakaan lainnya yang disimpan untuk dibaca, dipelajari, dibicarakan. Peran perpustakaan tidak hanya tempat menyimpan buku atau koleksi majalah. Perpustakaan harus difungsikan sebagai tempat menggali pengetahuan siswa, sebagai tempat diskusi siswa, tempat mencari informasi pengetahuan.
Jamaluddin (2003: 127) mengungkapkan bahwa perpustakaan harus didesain sedemikian rupa sehingga cukup kondusif sebagai tempat membaca bagi siswa. Rak buku disusun dengan rapi, buku-buku tertata dengan baik, tersedia lemari katalog, ada ruang baca yang nyaman, ada gambar yang menarik dan relevan, dan dinding dicat dengan warna yang bervariasi.
Menciptakan pembelajaran dan penilaian yang menyenangkan agaknya sukar dilakukan, khususnya menciptakan model penilaian yang menyenangkan. Bagaimanapun penilaian yang diberikan kepada siswa tentunya tidak menjadikan siswa merasa senang. Penilaian dipandang sebagai sesuatu yang membatasi ruang gerak, atau sebaliknya pemaksaan untuk melakukan sesuatu hal (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 5).
Pembelajaran yang menyenangkan tentunya berakibat pada penilaian yang menyenangkan pula. Oleh karena itu penilaian hendaknya disesuaikan dengan pembelajaran yang dilakukan. Misalnya, pembelajaran berpidato seharusnya siswa dites berpidato, bukan pengetahuan atau teori pidato. Pembelajaran bersastra hendaknya siswa diberikan tes bersastra, bukan pengetahuan atau teori sastra.

3.             Simpulan
Bahasa adalah jati diri bangsa. Bahasa menunjukkan bangsa. Dalam pembelajaran di sekolah, guru semestinya tidak hanya mengajarkan teori-teori kebahasaan dan kesastraan tetapi juga membelajarkan keterampilan berbahasa dan bersastra agar  semakin kokohlah jadi diri bangsa Indonesia.







DAFTAR PUSTAKA

Amrin Saragih. (2011). Bahasa indonesia mampu membentuk karakter bangsa Indonesia yang toleran dan variatif. (onine): http://www.waspadamedan.com/index.php? option=com_content&view=article&id=2220:bahasa-dalam-pengembangan-jati-diri-bangsa-ii&catid=59:opini&Itemid=215, diakses pada 17 November 2011.
Burhan Nurgiyantoro. (2010). Penilaian pembelajaran bahasa berbasis kompetensi. (1th ed). Yogyakarta: BPFE.
Ebta Setiawan. (2010). Kamus besar bahasa indonesia versi offline 1.1. (3th ed.). diambil dari http:// pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi
Farida Rahim. (2008). Pengajaran membaca di sekolah dasar. (2th ed). Jakarta: PT Bumi Aksara.
Jamaluddin. (2003). Problematik pembelajaran bahasa & sastra. Yogyakarta: AdiCita.
Masnur M. & Suparno. (1987). Bahasa indonesia: kedudukan, fungsi, pembiaan dan pengembangannya. (2th ed.) Bandung: Jemmars.
Santi W. at.al. (2011). Pembelajaran bahasa indonesia yang menyenangkan. (online): http: //berkarya.um.ac.id/?p=5627. diakses pada 9 November 2011.




* Alumnus UMSurabaya  dan Mahasiswa PPs UNY

Tidak ada komentar:

Posting Komentar