Rabu, 02 Januari 2013

CERPEN


 

Abdiku

Oleh: Marfuatin Muthoharoh/ Angkatan 2010


            Aku dilahirkan dari keluarga yang bisa dibilang sangat kekurangan. Aku anak bungsu dari empat bersaudara. Orang tuaku hanyalah seorang buruh tani serabutan, jadi penghasilan mereka hanya cukup untuk membiayai kehidupan abang-abangku saja. Kini, Abang pertamaku menjadi seorang TKI yang berada di Saudi Arabia, abang keduaku juga seorang TKI di Korea, sedangkan abang ketigaku seorang kuli bangunan yang jarang mendapatkan kehidupan yang serba kecukupan. Dan mereka bertiga sudah berumah tangga, jadi uang yang mereka kumpulkan semata hanya untuk anak dan istri mereka.
Add caption
Yayasan Al-Hikmah, disanalah Aku dibesarkn tapi bukan dilahirkan. Sejak kecil Aku tinggal di yayasan tersebut karena memang kedua orang tuaku sudah tidak sanggup lagi merawat dan membiayai kehidupan dan pendidikanku. Muhammad Fajar, itulah Aku. Pemuda 25 tahun yang kini menjadi pengasuh di yayasan panti asuhan yang bernama Al-Hikmah. Yayasan ini didirikan oleh ibu Hj. Syamsiyah atau biasanya kami panggil dengan sebutan Ummik, yang merupakan seorang istri dari pejuang Veteran. Suami Ummik meninggal sejak tahun 1960 karena sakit komplikasi.
Di yayasan Al-Hikmah ini, Aku mempunyai anak asuh yang paling Aku sayang, Bilal namanya. Meskipun nakal, tetapi anak ini sangat lucu dan taat beribadah. Bilal adalah siswa kelas 5 SD yang dulu kami temukan didepan pintu gerbang yayasan saat ia berusia 3 bulan. Disini Aku mempunyai dua orang sahabat yang nasibnya lebih buruk daripada Aku. Supri dan Ahmad, kakak-beradik yang yatim piatu sejak mereka masih balita. Tidak hanya Bilal, Supri, dan Mas Ahmad saja yang Aku sayangi, tetapi semua penghuni yayasan ini sudah Aku anggap selayaknya keluargaku sendiri. Sama halnya dengan Ummik, beliau Aku anggap seperti ibu kandungku. Meskipun begitu, aku tidak akan lupa dengan ibu dan bapakku yang selalu mendo’akan aku.
~~¤~~
Bulir-bulir embun pagi menetes didedaunan yang tumbuh dihalaman. Kumulai kegiatan pagiku dengan membangunkan anak-anak untuk segera mandi dan sholat subuh berjamaah di masjid.
“Pagi…pagi…ayo bangun!! Masak ga’ malu sama ayam yang dari tadi membangunkan kalian” Teriakku untuk membangunkan anak-anak.
“Huuaachh…masih ngantuk Mas” Gumam Bilal yang masih bersembunyi didalam selimutnya.
“Eh…eh…kamu mau Ummik marah yach??”
“Enggak Mas, jangan bilang Ummik ya, Bilal udah bangun kok…”
Ya, begitulah Bilal, paling susah kalau disuruh bangun pagi dan paling takut kalau Ummik marah.
          Seusai mandi dan sholat subuh berjamaah, anak-anak melaksanakan kegiatan rutin yaitu mengaji tilawati yang dibimbing oleh Mas Ahmad. Sedangkn Aku dan Supri menyiapkan kebutuhan anak-anak untuk sekolah. Mulai dari seragam mereka, buku-buku mereka dan motor untuk mengantarkan mereka pergi ke sekolah.
          Disini Aku menggenal Milatuzzahra atau biasanya dipanggil Mila, gadis cantik pujaan hatiku yang juga tinggal diyayasan Al-Hikmah. Dia berperan sebagai pengasuh anak-anak perempuan sekaligus juga sebagai juru masak. Pagi ini aroma masakan Mila tercium sampai garasi.
          ”Hmm...sedap sekali aromanya Mil, masak apa nich??” Tanyaku sambil menggoda.
          ”Ah...Mas Fajar bisa saja...Mila cuma buat semur daging saja kok mas..” Jawab Mila dengan Malu-malu.
          ”Tapi kayaknya enak banget, jadi pengen coba...”
Mila hanya tersenyum dengan ledekanku yang setiap hari didengarnya. Aku memang suka menggombal dihadapan Mila dan membuat mukanya menjadi merah.
          ”Fajar....” Teriak Supri yang kutinggalkan demi Mila.
”Apa?? Ga’ usah teriak-teriak lah!!” kuhampiri Supri.
”Kamu ini, pekerjaan belum selesai kok malah ditinggal pacaran...” Supri yang mulai marah karena ulahku.
”Heeheee...kan cuma sebentar, menyegarkan mata dulu. Bosen aku tiap pagi lihat kamu Pri...”  Godaku kepada Supri.
”Nakal kamu ya...sini Jar, aku mandikan dulu matamu biar ga’ jelalatan!!”
”Ampun Pri...”
Setiap hari memang kami selalu bercanda saat menyiapkan kebutuhan anak-anak. Supri yang usianya dibawahku satu tahun lebih bersikap dan berpikiran dewasa dibandingkan dengan Aku.
Semua masakan telah selesai, waktunya sarapan. Aku senggaja memilih duduk didepan Mila agar Aku dapat memandang wajahnya setiap saat. Dan setiap Aku pandangi wajahnya, Mila menundukkan kepalanya karena malu.
”Mas Fajar, kenapa memandang Mila seperti itu??” Tanya Mila karena risih dengan sikapku.
”Ga’ ada apa-apa kok Mil, aku cuma pengen lihat kamu saja...”
Lagi-lagi, Mila tersenyum dan tertunduk malu.
          Pukul 07.00, saatnya Aku dan Supri mengantarkan anak-anak untuk pergi kesekolah. Hari ini Supri yang mengantarkan Bilal. Sebenarnya Akulah yang biasanya mengantarkan Bilal, tetapi hari ini Ummik menyuruhku pergi ke rumah Pak H. Somad, salah seorang donatur untuk mrngambil barang kebutuhan anak-anak.
          Saat mereka berangkat, perasaanku tidak karuan, Aku selalu dibayang-bayangi wajah Bilal. Ah, kulupakan saja perasaanku itu, aku berangkat menuju rumah donatur dan menjalankan apa yang diamanahkan Ummik kepadaku. Sesampai dirumah Pak H. Somad, Aku dipersilahkn duduk dan membicarakan masalah yayasan. Pak H. Somad juga ikut andil dalam masalah kepengurusan yayasan, karena memang Pak H. Somad merupakan adik dari Ummik. Setelah berbicara panjang lebar, Aku segera pamit pulang.
          ”Sampaikan salamku buat anak-anak dan Ummik ya!!”
          ”Baik Pak, terimakasih, Assalamu’alikum...” pamitku kepada Pak H. Somad.
          ”Sama-sama, wa’alaikum salam...”
Tidak lama dijalan, Aku mendapat telepon dari Supri. Kuterima telepon darinya.
          ”Assalamu’alaikum...Fajar, kamu dimana??” tanya Supri dengan nafas tersengal-sengal.
          ”Wa’alaikum salam, Aku di jalan Pri. Kenapa??” Tanyaku dengan gemetar.
          ”Aku sekarang di rumah sakit, Bilal tiba-tiba panas tinggi dan kejang-kejang di sekolah, kamu bisa kesini??”
          ”Iya Pri, sebentar lagi Aku kesana. Sudah dibawa ke UGD kan??”
          ”Udah Jar, ohya..jangan kasih tau Ummik, nanti beliau khawatir...” Pesan Supri agar Ummik tidak sock dan khawatir kepada Bilal.
          ”Oke-oke, Aku langsung meluncur ke rumah sakit...”
Aku bergegas, kupacu kendaraanku dengan kecepatan yang tinggi agar cepat sampai di rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Aku lihat Supri dan Fajar sudah tertawa ria, seperti tidak terjadi apa-apa dengan Bilal. Dasar Supri, badut Ancol di yayasan kami, tidak ada yang sedih jika bersama Supri.
          ”Bilal, sakit kok malah cekikikan. Istirahat Nak!!” Perintahku kepada Bilal.
          ”Iya Mas, Bilal istirahat. Mas Supri sih lucu, jadinya Bilal tertawa deh...”
Aku dan Supripun menunggu Bilal beristirahat. Kami membicarakan masalah perasaanku kepada Mila. Sebenarnya Aku ingin sekali menikahi Mila. Tapi disisi lain, Mas Ahmad kakak dari Supri juga mencintai Mila. Aku sangat bingung sekali. Mila adalah wanita ketiga yang sangat aku cintai setelah ibuku dan Ummik.
          Tak terasa waktu telah berlangsung selama 3 jam. Dokter memperbolehkan kami pulang karena kondisi Bilal sudah membaik dan Alhamdulillah pihak rumah sakit memberikan kami keringanan biaya karena kami memiliki jaminan kesehatan keluarga tidak mampu. Akhirnya kami membawa pulang Bilal meskipun dia masih belum sehat betul. Kamipun segera menuju tempat administrasi dan bergegas pulang agar Ummik tidak khawatir dan mencari kami.
          Sesampainya di yayasan, Bilal langsung menuju ke tempat tidurnya tanpa menoleh sedikitpun keruang makan. Karena tidak seperti biasanya, Ummik bertanya kepadaku.
          “Jar, kenapa Bilal? Tidk seperti biasanya dia pulang sekolah langsung tidur?”
          ”Iya Ummik, Bilal lagi sakit, tadi disekolah tiba-tiba tubuh Bilal panas tinggi...”
Aku ceritakan semua kejadian tadi siang kepada Ummik. Beliau kaget, tetapi berkat Supri, suasana jadi tidak menegangkan lagi.
~~¤~~
       Sang mentari telah digantikan oleh sang rembulan. Sudah 7 tahun kupendam perasaanku terhadap Mila. Aku tau kalau Milapun juga merasakan perasaan yang sama terhadapku, tapi dia adalah seorang gadis yang sholehah, jadi mana mungkin dia kegenitan kepadaku.
Malam ini cahaya rembulan terpancar sangat menawan. Ditemani gemerlap bintang-bintang. Dan dibawah kemewahan rembulan dan bintang, kukumpulkan semua keberanianku untuk menyatakan cinta kepada Mila. Saat kuajak Mila ke taman depan yayasan, dia mengiyakan ajakanku. Rasanya rontok jantungku, terhenti aliran darahku dan terpaku semua perkataanku dihadapanya. Di taman itu kami hanya saling diam, tanpa sepatah katapun terucap dari bibir kami. Jika terlalu lama kami berdiam, maka tak akan ada gunanya. Aku awali pembicaran kami, meskipun agak sedikit garing, tak apalah, yang penting Mila bisa tersenyum.
”Mil, malam ini bintangnya bersinar seperti wajahmu...” Aku mulai menggombal dihadapan Mila.
”Ah, Mas Fajar bisa saja, Mila kan jadi Malu...”
”Beneran, dan selama ini Aku terpesona dengan kelembutan hatimu. Mil, kamu kan tau kalau Aku tidak suka basa-basi tapi suka menggombal. Aku mau kamu tau sesuatu...”
”Apa itu mas? Kasih tau Mila!!” Tanya Mila penasaran.
”Bener, kamu mau tau??” Godaku kepada Mila.
”Iya, jangan buat Mila penasaran donk Mas...”
”Gini ya Milaku sayang...”
”Eh...Mas Fajar genit, kok pake sayang-sayangan???” Memotong pembicaranku.
”Maaf Mil, keceplosan” Kucoba untuk mengeles.
Belum sampai inti pembicaraan, Mila memotong perkataanku karena dia tidak mau Aku panggil dengan sebutan sayang. Mila...Mila...kamu begitu sholehah. Tak sabar Aku ingin mendapatkan kecantikan yang ada dalam dirimu. Aku lanjutkan percakapan kami.
”Langsung saja ya Mil, selama 7 tahun Aku memendam perasaan kepadamu. Dan akhir-akhir ini Aku tidak bisa jauh darimu. Aku takut kehilanganmu, saat tidur Aku terbayang wajahmu yang sejuk bagai oase yang menyegarkan kekeringan hatiku. Aku mau kamu mendampingiku dalam hari-hariku yang sepi. Kamu mau Mila??”
          ”Sebenarnya, Mila juga memiliki perasaan yang sama Mas, tapi Mila malu...’
          ”Jadi, kamu menerimaku Mil??”
Mila hanya menganggukkan kepala atas jawabannya.
”Alhmdulillah...akhirnya Aku akan mendapatkan cintamu seutuhnya...”
Malam itupun juga, Aku menemui Ummik untuk melamar Mila dan meminta restu atas hubungan kami.
          ”Ummik, Fajar ingin melamar Mila. Fajar sangat mencintainya, dan insya Allah Fajar akan membahagiakan Mila. Apakah Ummik merestui hubungan kami??”
          ”Alhamdulillah, Ummik sangat setuju dengan hubungan kalian, dan kalau bisa secepatnya kalian menikah agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan tidak terjadi sebuah finah...apakah kamu sudah siap lahir dan batin??”
          ”Insya Allah sudah Ummik...”
Ummik sangat bahagia, karena diusiaku yang menginjak 26 tahun, aku telah menemukan seseorang yang insya Allah akan membahagiakanku.
          Aku, Mila dan Ummikpun membicarakan tanggal pernikahan kami. Setelah berunding cukup lama, akhirnya diputuskan oleh Ummik tanggal pernikahan kami ialah tanggal 28 April yang bertepatan dengan hari dimana Mila telah bertambah usia.
          Satu minggupun telah berlangsung, besok adalah hari yang bersejarah bagiku dan keluargaku. Dan besok Mila telah resmi menjadi Istriku. Sanak saudara telah diundang, begitu juga dengan keluargaku, Abang-Abangku yang tinggal di luar negeri, rela datang dan mereka tak mau ketinggalan menghadiri resepsi pernikahanku dengan Mila, meskpun acara resepsi kami diadakan secara sederhana.
~~¤~~
          Mentari telah menampakkan senyum indahnya. Semua penghuni yayasan telah bersiap-siap, termasuk Aku dan Mila. Mila terlihat sangan anggun mengenakkan kebaya warna putih, dan Aku terlihat gagah dengan jas warna hitam meskipun hanya pinjaman dari putra Pak H. Somad.
          Pukul 09.00 acara akad nikah akan dimulai, tetapi tiba-tiba Ummik tidak sadarkan diri. Kami semua panik dengan keadaan Ummik yang tidak biasanya pingsan. Supri memanggilkan dokter dan acara pernikahan kami ditunda sampai Ummik sadar. Dokterpun datang, tetapi nyawa Ummik tidak terselamatkan lagi. Ummik terkena serangan jantung dan seketika meninggalkan kami tanpa ada sepatah kata dari Beliau.
          Saat kami larut dalam kesedihan, Bilal lari menghampiri kami dengan membawa secarik kertas berisikan tulisan Ummik yang merupakan surat wasiat yang ditulis Beliau tadi malam. Surat wasiat itu berisikan...
Text Box: ”Anak-anakku yang Ummik cintai, jaga selalu ikatan persaudaraan kalian. Jangan sampai terjadi perpecahan antara kalian. Ummik akan bahagia jika melihat kalian semua hidup dlam kasih sayang Allah. Jangan lupa beribadah dengan ikhlas, shodaqoh, dan berbakti sama kakak-kakak kalian. Untuk Ahmad dan Supri, jaga adik-adikmu. Dan untuk Fajar dan Mila, restu Ummik selalu menyertai kalian, jangan pernah ada keinginan untuk berpisah sampai kematianlah yang memisahkan kalian, dan satu lagi, Ummik ingin kalian yang mengurus yayasan, Ummik pikir kalianlah yang pantas dan berhak menerima semunya karena pengabdian kalian selama ini. Menikahlah dihadapan jasad Ummik...Cinta Ummik tak kan pernah putus terhapus oleh zaman....”         













          Usai membaca surat dari Ummik, kami melaksanakan wasiat Beliau yang terakhir, yakni menikah dihadapan jasad Ummik. Rasa haru sekaligus bahagia bercampur aduk dalam perasaan kami. Disatu sisi, kami baru saja kehilangan orang yang paling kami cintai, disisi lain kami harus melaksanakan perintah Ummik. Akad nikah telah terucap dihadapan penghulu, wali, dan para saksi. Aku dan Milapun resmi menjadi pasangan suami-istri.
Selamat jalan Ummik...
Sekuat tenaga dan sampi titik darah penghabisan, kan ku jaga amanah dari Ummik...
Semoga, pengabdianku selama ini merupakan pengabdian yang tulus dan bisa menggantarkan Ummik menuju tempat yang teridah disisi-NYA...


~~tamat~~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar